Cerpen?
Sabtu, 02 April 2016
Kamis, 01 Januari 2015
Athara Nada
My Love are
For My Senior
Untuk seorang perempuan tanpa sayap
sepertiku, memang sulit untuk menggapai sesuatu diatas awan. Apalagi seseorang
yang amat, ya katakanlah perempuan aneh. Rambut hitam pendek, rok sekolah panjang,
selalu membawa buku dalam pelukannya, dan tak pernah bersosialisasi dengan
siapapun. Entahlah, kenapa aku tak pernah merasa bosan dengan keadaan ini.
Mungkin aku seperti ini karena trauma akannya “Dijauhi”.
Saat aku SMP, semuanya terasa indah. Punya
teman banyak, namun semuanya berteman denganku hanya untuk bertanya soal-soal
yang menurut mereka itu sulit. Mereka berteman dengan ku, hanya karena ada
maunya saja. Fake Friends. Aku tak
pernah memiliki seorang sahabat.
Menurutku, semua orang itu sama. Hanya mendekat jika ada maunya saja.
Keputusanku untuk mencari SMK bukan
semena-mena hanya untuk meraih pekerjaan yang bagus. Namun, keputusanku untuk
mencari SMK untuk menjauhi semua teman-teman yang selalu memperdayaiku. All of my Fake Friends. Semua teman
palsuku itu, bersemedi di SMA favorit. Semuanya. Padahal mereka mendapatkan
sekolah itu dengan cara yang tidak murni. Jika aku sudah dari awal berniat
untuk masuk SMA, bisa saja aku mendapatkannya. Namun, keinginan untuk menjauh
sangatlah kuat. Hingga aku masuk ke SMK favorit di kota ini.
MOS yang sedang berlangsung di sekolahku
saat itu, membuatku tersenyum riang. Karena, dari sekolahku terdahulu, hanya
beberapa yang bersekolah sama denganku. Mereka pun tak ada satupun yang
kukenal. Kak Mila sedang mengawasi jalan berlangsungnya MOS. Pengawas MOSku ada
dua orang yaitu Kak Mila dan Kak Athara.
Kak Mila berjalan diantara barisan kelas
MOSku. Ia menatapku dari atas sampai bawah. Apa penampilanku saat itu aneh? Oh c’mon. I’m not a freaky!
“Thar, ini nih” Ucap Kak Mila kepada Kak
Athara sembari menunjukku. Aku juga tak mengerti kenapa gadis itu menunjukku.
Kak Athara memperhatikanku sejenak lalu menoleh pada absen yang sedang ia bawa.
I think, semua orang menilai
seseorang pasti lewat penampilannya. Itu berlaku pada Kak Mila pula.
“Viranada Kosika Yuki” Kak Athara
memanggil namaku. Ia tersenyum manis. Gigi gingsul menambah daya tarik
laki-laki itu. Sungguh. Ia adalah laki-laki pertama yang memanggil namaku
secara lengkap yang dibarengi senyum yang agak menawan itu.
“Ya. Saya, Kak?” Balasku. Ia kembali
tersenyum. Akankah senyum itu tetap bertahan untukku?
“Kamu perwakilan sekolah buat ngikutin
upacara di Lapangan pusat kota ya?”
“Saya, Kak?” Orang itu kembali tersenyum.
Jaket biru OSIS menambah aksen keren padanya.
Love
at First Sight? Yap. Sekarang aku
ngerasain hal itu pada Kak Athara. Dari dulu aku tidak percaya dengan kalimat
itu. Karena menurutku, cinta itu hanya omong kosong. Perasaan ini membuatku
merasa senang. Sekaligus sakit. Seru karena setiap ngeliat Kak Athara senyum,
jiwa didalam tubuh ini ingin ikut tersenyum. Sakit karena akan mengetahui
sebuah fakta kalau Kak Athara punya pacar. Atau yang paling parah, Kak
Athara nanti tak mengetahuiku sama sekali.
“Iya. Kamu. Oke?”
Deg!
Ia terlalu bersikap manis. Aku tak ingin
jatuh pada kesalahan yang sama seperti saat berpacaran dengan Wiska. Terlalu
mencintai, akan membuat sakit. Sangat mencintai, akan membuat hancur. Cinta itu
hanya sebuah label kemasan, bukan isi sebuah kemasan.
“Baik, Kak”
Hanya sebuah ikatan antara murid baru dan
kakak MOS. Tak lebih dari itu. Ia juga mungkin akan melupakanku. Hanya waktu
yang bisa mejawab seluruh pertanyaan yang masih berada dibenak ini. Hanya waktu
pula yang bisa mengubah segala apa yang ada. Dan hanya waktu pulalah, yang akan
selalu benar.
Hidupku ini bagaikan didalam sebuah novel.
Dimulai dengan teman palsu, perselingkuhan antara Wiska dengan Tari, dijauhi
semua keluarga besar karena tingkah ayah dan bundaku yang selalu terlihat tak
akur. Hidupku terlalu sempurna untuk dijadikan sebuah novel. Jika tadi aku
mengatakan bahwa hidupku bagaikan didalam sebuah novel, maka kali ini aku
mengatakan bahwa hidupku bukanlah sebuah novel. Novel Teen-romance,Teen-Fiction yang selalu berakhir dengan kata Happy Ending. Hidupku tak ada ujungnya.
Kemarin aku bahagia, hari ini aku menangis, mungkin esok aku tersenyum, atau
lusa tangisku akan terdengar sampai kota seberang.
Atau yang paling tidak memungkinkan.
Akankah aku akan bersama dengan orang yang kucintai dipandangan pertama?
Seperti yang kutuliskan tadi. Hidupku bukanlah novel yang berakhir dengan Happy Ending. Yang akan setiap hari bisa
melihat Kak Athara selalu tersenyum untukku.
Semenjak MOS hari pertama itulah, aku
selalu memperhatikan gerak-gerik Kak Athara. Saat itu, kami para murid MOS
sedang mendengar penjelasan dari narasumber yang hadir ke sekolah ini. Aku
ingin mengajukan pertanyaan, dan setiap yang ingin mengajukan pertanyaan,
pastilah harus berbicara lewat Mike yang telah disediakan.
Akupun berdiri untuk mengambil Mike itu, namun saat aku memperhatikan
siapa yang memberikanku Mike, aku
sempat terdiam sejenak dan mata kami saling bersitatap untuk beberapa detik.
Warna bola mata Kak Athara adalah coklat. Sama sepertiku.
“Bilang Nama, Kelas MOS” Aku mengangguk
mengerti. Demi dihadapan Kak Athara, aku akan menunjukan segala kemampuanku.
“Perkenalkan nama saya Viranada Kosika
Yuki. Bisa dipanggil Nada. Saya berasal dari kelas X AP 1”
Yap.
Sudah kukatakan diawal. Aku mendapatkan SMK favorit ini berasal dari jerih
payahku sendiri. Jika aku berniat bersekolah di SMA, ya bisa jadi sudah berada
ditangan. Dan di SMK aku mendapatkan kelas MOS yang bisa dikatakan, memiliki
NEM tertinggi di sekolah ini. Walaupun bukan aku yang mendudukin peringkat pertama
tersebut, namun aku sangat bangga bisa menjadikan kelas ini menjadi kelas
MOSku.
Dan saat akhir-akhir MOS pun aku masih
sempat-sempatnya untuk berusaha lebih dekat dengan Kak Athara. Acara pemberian
surat cinta pada OSIS menjadi media pendekatanku. Ya walaupun aku tau tak akan
selalu bertemu dengan Kak Athara, ya setidaknya aku sudah mengungkapkanku pada
surat yang berisikan sebuah puisi buatanku sendiri yang menurutku artinya sudah
sangat dalam.
Siulan
Sang Brahma
Menyebabkan
Agni Berkobar
Siwa
Mulai Menancapkan
Tongkatnya
di Permukaan
Pikiran
Wisnu
Membuat
Baruna Hadir
Agni berkobar, itu berarti bahwa sesuatu
yang baik telah dirusak oleh panasnya suasana. Siwa menancapkan tongkat, Sebuah
perselisihan telah muncul. Dan menurutku, Kak Athara itu bagaikan Baruna. Yang
memberikan kesejukan dikala hati yang tengah diamuk oleh kobaran Agni.
Semenjak
perpisahan antara aku dan Wiska, dijauhi semua orang, orang tua selalu
bertengkar, namun semenjak mengetahui seorang Athara Geko Wijaya, entah kenapa
semua perasaan kalut ini menjadi hilang seketika. Setiap ku memandang wajahnya,
serasa beribu-ribu kelopak bunga sakura terbang melewati raga ini.
“Nad, cuman suratmu aja yang Kak Athara
dapetin!” Seru Yuna dan Ana. Mereka berdua adalah temanku. Kita dulu satu sekolah,
namun tak begitu akrab. Hingga sekolah ini membuat kami bertiga lebih dekat.
“Cuman suratku saja?” Ucapku yang
mengulangi pernyataan Yuna dan Ana tersebut.
“Yoi! “
Ada perasaan senang saat mengetahui hanya
suratku saja yang Kak Athara bawa. Atau mungkin, saat sampai dirumah, surat itu
hanya menjadi kertas usang tak berguna di tempat sampah. Aku makin tak percaya diri. Aku hanya bisa menundukan
kepala saat pikiran itu hadir melewati kepala ku.
Dan
setelah MOS, adalah tes penempatan kelas. Aku selalu berusaha untuk tetap
berada dikelas X AP 1. Menurutku, mungkin saja aku dan Kak Athara akan kembali
bertemu. Mungkin. Hanya kata itu saja yang masih mengganjal dihati ini.
Walaupun nanti aku tak akan mendapatkan kelas ini lagi, setidaknya aku akan tetap
berusaha untuk selalu dapat melihat Kak Athara dari kejauhan. Pikirku saat itu
Hanya dari kejauhan. Aku tak berani untuk
mendekat. Karena ego milikku terlalu menguasai raga ini. Bahkan saat ia
sendirian dan aku tetap tak berani untuk menanyakan berapa nomer ponsel Kak
Athara. Egoku terlalu berlebihan hingga untuk mendekat pada orang yang kurindu
dan mulai ku sayangi pun tak bisa.
Jika ia mendekat.. tidak. Ia tidak mungkin
mendekat. Karena, aku hanya seorang gadis kecil yang masih kelas 10, aneh, dan
tak pernah bisa untuk mengendalikan ego yang berada dibatinnya. Dan, aku hanya
bisa berdoa pada yang diatas. Dan semoga saja tuhan tak pernah bosan mendengar
nama Kak Athara disetiap bait do’a yang kuucapkan, karena setiap akhir dari
do’a ku, aku akan selalu mengatakan.
“Tuhan, buatlah aku lebih dekat dengan Kak
Athara. Buatlah aku lebih berani untuk mendekati Kak Athara. Biarkan kami untuk
saling memandang. Kemampuanku hanya bisa sampai disini saja. Tolong bantu aku
untuk bisa bersama dengan Kak Athara. Jangan biarkan dia hancur karena apapun.
Dia adalah orang yang memiliki senyum yang tulus menurutku. Jangan biarkan
senyum itu menghilang dari wajahnya”
Hanya do’a itu yang selalu kuucapka
diakhir setiap ku mencoba untuk bertemu denganNya.
“Dasar tukang selingkuh!”
“Oh, Papa nuduh Mama selingkuh? Nyadar
dong, Pa!”
Entah kenapa, setiap aku berada dirumah,
tak pernah ada kehangatan sebuah keluarga didalamnya. Hanya ada sebuah
teriakan, pecahan kaca, bentakan, suara pukulan, bahkan saling menjelekkan. Dan
aku sempat berfikir untuk mengakhiri hidup ini saat Wiska dengan santainya
mencampakkanku di hadapan umum. Keluarga hancur, pacar yang meninggalkanku demi
selingkuhannya, begitu sempurna bukan hidup seorang Nada.
“Ayah! Bunda! Berhenti! Nada bosen denger
kalian bertengkar!” Ucapku. Kedua orang tuaku itu pun menoleh ke arahku dengan
alis yang bertaut.
“Liat! Dia tumbuh jadi anak pembangkang
kayak kamu!”
“Kok aku? Papa yang salah!”
Terlalu sempurna untuk kulanjutkan kisah
ini. Walaupun dihati ini masih ada luka yang mendalam, hanya melihat Kak Athara
tersenyum, merupakan sebuah penyemangat dalam hidupku. Walaupun seringkali aku
melihatnya tersenyum diantara banyak perempuan yang mengelilinginya, dan
mungkin salah satu diantara perempuan itu adalah pacar Kak Athara, aku akan
tetap menyimpan perasaan ini.
Sakit? Of
course. Siap menyentuh cinta, tentu siap pula dengan resiko sakit yang akan
kuderita nanti. Aku masih menyukai memandang Kak Athara dari kejauhan. Jika
dari dekat, aku tak tau harus berbuat apa. Bisa saja aku melakukan hal-hal yang
memalukan dihadapannya. Rambut hitam legam, sorot mata yang begitu lembut namun
tajam, senyum merekah, dan mungkin hanya dirinya satu-satunya yang ada didunia.
Saat HUT sekolah, aku merasa jantung ini
berdetak dengan kencangnya. Entah kenapa, aku juga tidak tau. Saat ku tolehkan
kepalaku, sebuah pemandangan yang mengejutkan. Kak Athara berada tak jauh dari
tempatku duduk. Seperti biasa, ku coba untuk mengambil beberapa kesempatan
untuk melihatnya dari dekat. Aku merasa nyaman dengan keadaan ini. Walaupun aku
dengannya tak sebelahan, jiwa di raga ini menjadi setenang Laut Hawai.
Kak Athara. Ingin sekali aku meminta nomer
ponselnya, namun sudah kuucapkan dari awal bahwa egoku terlalu tinggi. Aku
hanya bisa berkhayal kalau Kak Athara akan menjadi pacarku. Hanya sebuah
khayalan. Tak lebih dari itu. Mungkin memang kami tak akan bersama, dan kami
akan bertingkah saling tak mengenal. Oh tidak, hanya aku saja yang mengetahui
nama lengkapnya, ia mungkin tidak tau nama dan siapa aku ini.
Aku selalu menatapnya dari kejauhan. Dan
aku tak pernah bosan untuk melakukan hal itu. Mungkin kisah seorang Viranada
Kosika Yuki akan berakhir dengan kesakitan akibat selalu melihat orang yang
disayang, akan menjauh seiring dengan berjalannya waktu. Selalu begitu, dijauhi
saat sudah mulai mendekat. Begitulah cinta. Begitu menarik, namun begitu rumit
pula.
“Kamu terlalu egois! Selalu ngekang! Kamu
nggak pernah ngertiin aku!” Kalimat yang diucapkan Wiska selalu saja terngiang.
Pertanyaan yang selalu membuatku bingung adalah, Apakah aku orang yang egois?
Memiliki Ego yang tinggi. Itu memang aku.
Jika ucapan Wiska benar tentang keegoisan yang kupunya sangat tinggi, maka
menurutku itu tidak benar. Jika aku benar-benar orang yang egois, maka saat
Wiska melepasku begitu saja, aku akan menolaknya. Namun, saat ia melepaskanku
begitu saja, aku hanya menerimanya. Tak menolak. Semua orang heran, kenapa saat
Wiska memaki ku didepan umum, aku sama sekali tak membalas ataupun membela
diri. Aku berfikir, untuk apa terus mempertahankan seseorang yang sama sekali
tak menginginkan keberadaanku disisinya. Aku hanya seorang manusia yang tak
bisa melakukan keegoisan. Namun, banyak orang menyebutku sebagai orang teregois
yang pernah ada.
Karena aku tak memiliki sedikit keegoisan,
aku hanya menerima pendapat itu. Tanpa melawan, hanya diam, diam, dan diam.
Tanpa perlawanan yang begitu berarti bagi mereka. Aku ingin menjadi orang yang
memiliki sebuah keegoisan yang bisa membuatku melawan semua yang menurutku
sangat mengganggu.
Aku ingin memiliki keegoisan, agar aku
berada dijalur yang benar-benar kuinginkan. Namun, memiliki sebuah keegoisan
yang sebenarnya adalah sebuah bunga tidur untukku. Semuanya begitu..
menyakitkan. Bahkan, keegoisan yang amat begitu rendah, hingga aku mengambil
jalan agar tak bertatap muka dengan Kak Athara. Aku tak punya sebuah keegoisan
untuk membuat Kak Athara melangkah bersamaku.
Hanya dari jauh. Kak Athara berada jauh di
Utara. Dan aku berada jauh di Selatan. Kami berdua bagaikan kutub magnet yang
memiliki kutub yang sama. Jika didekatkan akan tolak menolak.
Hingga hari ini, atau mungkin seterusnya
aku akan menatap Kak Athara hanya dari kejauhan. Seterusnya akan begitu, hingga
Kak Athara sendiri akan menyadari bahwa aku selalu menatapnya. Tapi, Kak Athara
menyadari tatapanku, itu tak mungkin. Karena Kak Athara tidak akan pernah
melihat bahkan melirik seorang gadis dengan wajah yang selalu terlihat datar
dan jarang untuk memperlihatkan ekspresi yang sebenarnya.
Dan saat ku ketikkan kalimat-kalimat ini,
yang kulihat adalah seorang Kak Athara yang tengah mengenakan jaket biru,
sedang saling berangkulan dengan kawannya, dan senyum itu selalu mampu
melumpuhkan segala ingatan yang membuatku sadar betapa susahnya hidup didunia
ini. Hanya senyum itu yang mampu membuatku ikut tersenyum layaknya orang gila.
Dan saat ini pula, aku mengetik sambil terus berkhayal. Berkhayal, bahwa akulah
yang berada di rangkulan Kak Athara.
Indigo
School of
Hell
Semua
ucapan yang dilontarkan kakakku pada waktu itu, kini memang terjadi. Ia seolah
pernah menasehatiku agar tak memasuki sekolah ini. Bahkan sebelumnya, ia tak
ingin bersekolah di sekolah ini karena rumor yang beredar pada waktu itu.
Dan
itu bukan sembarang rumor. Itu adalah nyata. Kak Erik selalu berkata padaku
bahwa sekolah ini berhantu, angker, dan banyak yang menghuni. Aku awalnya tak
mempercayai omongan kakakku itu. Aku dengan beraninya setelah tamat SMP untuk
bersekolah di sini. Awalnya memang seperti tak ada apapun yang perlu
ditakutkan.
Bahkan
saat MOS, aku merasa nyaman untuk bersekolah di sini. Sekolah dengan gedung
megah serta fasilitas penunjang yang begitu lengkap. Hingga aku benar-benar
meremehkan Kak Erik yang merupakan seorang indigo sejak kecil.
Aku
benar-benar tak merasakan sesuatu yang aneh. Sungguh, aku bahkan selalu
mengacuhkan setiap peringatan yang Kak Erik lontarkan. Hingga 2 minggu terakhir
ini, aku mulai merasakan sebuah keanehan di sekolah ini. Keanehan yang bisa
kurasakan dengan seluruh indra yang ada ditubuh ini.
Ruang
kelasku berada di bawah dan pojok dari gedung 1. Dan letak dari kelasku itu
adalah depan dari kamar mandi wanita dan pria. Aku awalnya berfikir senang
karena mendapatkan kelas yang dekat dengan kamar mandi. Namun, itu lah penyebab
ketidak nyamananku saat ini.
Dari
aku bersekolah disini, aku selalu berusaha untuk datang pagi. Dan 2 minggu
terakhir pula, aku merasakan keanehan. Ruang kelasku yang dulunya adalah sebuah
laboratorium, yang masih menyimpan semua peralatan praktek IPA. Dan ada sebuah
kerangka tubuh manusia yang berada di dalam sebuah lemari kaca, membuat ruangan
ini saat jam 6 pagi serasa amat dingin diruang kelas yang sebenarnya terasa
hangat.
Setiap
aku datang, aku selalu melirik kerangka itu. Dan aku merasa, kerangka itu
seolah berbicara padaku. Dan itu bukan biang dari permasalahannya. 3 hari yang
lalu, saat aku dan kawanku sedang mengerjakan tugas, salah seorang kawanku
menunjuk sesuatu dari dalam kamar mandi pria.
“Itu..”
Ucap Jessi sembari menunjuk. Setelah aku, Lena, dan Ria menengok yang dimaksud
oleh Jessi, kami bertiga mengernyitkan dahi bersama-sama.
“Ada
apa?” Ucap Ria dengan wajah yang mulai terlihat tegang. Lena pun kembali
menengok kearah dalam kamar mandi. Dan tetap saja, tak ada sesuatu yang ada
disana.
“Tadi
aku liat orang lewat!” Racaunya dengan berjalan ke depan kamar mandi dan
menyembulkan kepalanya kea rah dalam kamar mandi.”Seriusan, tadi ada kok!”
Imbuhnya yang penuh penekannan. Dan saat itu aku kembali teringat akan ucapan Kak
Erik tentang seseorang yang pernah mati bunuh diri disalah satu kamar mandi
pria disekolah ini karena patah hati. Dan bulu kudukku meremang karena
mengingat ucapan Kak Erik.
Telah
beberapa kasus pula yang diucapkan oleh Kak Erik, kini kurasakan dengan
perasaan was-was. Bukan di kamar mandi pria saja ada bunuh diri dengan cara
menggantung diri, di Lab Komputer pun konon pernah terjadi bunuh diri juga. Dan
saat pelajaran TIK yang menggunakan Lab Komputer, aku duduk di pojok kiri
ruangan itu. Aku dan Dika yang duduk diposisi itu pun sering merasa sesuatu
yang aneh.
Seperti
AC yang sebenarnya mati, namun kita berdua merasakan kedinginan yang teramat
sangat. Padahal teman-teman yang lain tak merasakan kedinginan, mereka
merasakan gerah akibat AC di ruang Lab computer itu tak menyala. Aku dan Dika
pun sedikit bingung atas kondisi yang kami alami itu. Bukan hanya itu saja di
ruang itu aku mendapati keganjilan, 6 hari yang lalu aku mendapatkan pelajaran
yang sama, dan di ruangan yang sama.
Saat
itu, aku tengah memanggil Meggy yang terlihat sedang kesusahan menyalakan
komputer di tempatnya. Aku berusaha ingin membantunya, namun sesuatu
menghalangiku. Yang menghalangiku adalah aku merasakan bahwa tempatku ke tempat
Meggy sangat jauh, bahkan saat itu aku merasa tak akan sampai bila aku berjalan
kaki.
Aku
berteriak sekencang mungkin, tapi tak seorang pun mendengarku. Aku merasa
seperti lumpuh, namun saat guru pengajar telah datang, aku kembali kesedia
kala. Disana aku mulai bingung, apakah semua ucapan Kak Erik memang benar
adanya?
Dan bukan sampai disana
saja keanehan yang bisa aku rasakan. Tadi, saat pelajaran berlangsung, aku
tengah berdiskusi dengan Andra. Saat berdiskusi dengannya, sesekali ku menatap
kerangka manusia di dalam lemari kaca itu dan sesekali pula aku menatap kamar
mandi, pria maupun wanita. Ada perasaan yang mengganjal.
Saat
kelasku hening, aku merasa seseorang telah memegang tengkukku. Aku menoleh pada
Andra. Kami saling memberikan tatapan bingung. Andra tersenyum jahil. Ya saat
itu aku merasa bahwa Andra lah pelakunya. Namun sebuah fakta yang
mengejutkanku. Ternyata ia juga merasa kalau ada yang memegang tengkuknya.
Dan
anehnya, di belakang kami hanya ada kerangka manusia itu. Karena letak duduk
kami berdua ada di paling belakang. Andra sepertinya tetap tak menghiraukannya.
Aku terus berfikir, teka-teki apa yang tengah dipersiapkan oleh penunggu
sekolahku ini? Aku masih penasaran dengan teka-teki yang mereka berikan.
Dan
saat aku mengetikkan kalimat-kalimat ini, aku selalu menoleh kearah belakang.
Karena aku merasa sedang diperhatikan. Dan untuk seterusnya, aku tak akan
mengabaikan larangan yang diberikan oleh siapapun. Dan hari ini, aku melihat
siluet seseorang ditengah kamar mandi pria yang jarang didatangi itu.
Minggu, 28 Desember 2014
Dea and Dean
Maybe I’m not normal girl. Karena gue..
“Dea!” Teriak Santi, Diva, dan Diah
secara bersamaan. Dan teriakan ketiga sahabat gue itu amat memekakkan telinga
ini. Mereka bertiga mungkin memang udah ditakdirkan untuk selalu memekakan
telinga gue. Yaampun. Setelah mereka bertiga datang, kini datanglah seorang
cowok yang amat gue benci. Dia adalah Wisnu. Aku memang tak pernah menyukai
orang ini dari pertama kali bertemu.
“Hai, Beb” Sungguh menyebalkan
mendengarkan kata-kata itu keluar langsung dari mulutnya itu. Dia memegang
kepala gue dan membuat ketiga sahabat gue ini menganga tak percaya dengan apa
yang mereka lihat. Dan sama seperti biasa, saat raga gue bersentuhan dengan
kulit laki-laki, gue bukanlah Dea.
“Jangan sentuh Dea!” Ucapan yang
keluar dari tubuh gue itu diiringi oleh pukulan yang langsung mendarat manis
dipipi sebelah kirinya. Dan itulah diri gue yang lain. Gue punya dua
kepribadian. Dea dan Dean. Kepribadian yang entah kapan muncul didalam raga
ini.
Sebelum semua itu gue ketahui, gue
berjalan dilorong yang dindingnya adalah kaca. Gue berjalan santai menuju
kelasnya Diva, seperti biasa untuk mengembalikan buku yang kemaren gue pinjam.
Dan saat itu gue mendengar seperti ada yang memanggil nama gue. Aku menoleh pada
sekitarnya, dan tak menemukan siapa-siapa ada disekitar sini.
“Aku disini, Dea” Bayangan gue di kaca
berbicara ke gue? Tentu saja. Dan mungkin karena inilah Kak Eka menutup seluruh
cermin yang ada dirumah. Kak Eka selalu ngelarang gue untuk melihat apapun yang
berhubungan dengan bayangan. Kak Eka mungkin sudah sejak lama tau akan gandanya
kepribadian gue ini.
“Elo siapa?” Tanya gue yang saat itu
memang sama sekali tak mengenali kepribadianku yang lain ini.
“Aku adalah kamu dalam versi kuat.
Kamu itu lemah, tak pernah melawan. Dan tugasku berada ditubuhmu adalah untuk
menjagamu dari sentuhan para laki-laki yang ingin menguasaimu!” Ucapan orang
yang mengaku-ngaku adalah gue, membuat gue makin bingung “Aku Dean.
Kepribadianmu yang tak akan pernah mau kalah”
Langganan:
Postingan (Atom)