Kamis, 01 Januari 2015

Athara Nada



My Love are For My Senior
      Untuk seorang perempuan tanpa sayap sepertiku, memang sulit untuk menggapai sesuatu diatas awan. Apalagi seseorang yang amat, ya katakanlah perempuan aneh. Rambut hitam pendek, rok sekolah panjang, selalu membawa buku dalam pelukannya, dan tak pernah bersosialisasi dengan siapapun. Entahlah, kenapa aku tak pernah merasa bosan dengan keadaan ini. Mungkin aku seperti ini karena trauma akannya “Dijauhi”.
      Saat aku SMP, semuanya terasa indah. Punya teman banyak, namun semuanya berteman denganku hanya untuk bertanya soal-soal yang menurut mereka itu sulit. Mereka berteman dengan ku, hanya karena ada maunya saja. Fake Friends. Aku tak pernah memiliki seorang  sahabat. Menurutku, semua orang itu sama. Hanya mendekat jika ada maunya saja.
      Keputusanku untuk mencari SMK bukan semena-mena hanya untuk meraih pekerjaan yang bagus. Namun, keputusanku untuk mencari SMK untuk menjauhi semua teman-teman yang selalu memperdayaiku. All of my Fake Friends. Semua teman palsuku itu, bersemedi di SMA favorit. Semuanya. Padahal mereka mendapatkan sekolah itu dengan cara yang tidak murni. Jika aku sudah dari awal berniat untuk masuk SMA, bisa saja aku mendapatkannya. Namun, keinginan untuk menjauh sangatlah kuat. Hingga aku masuk ke SMK favorit di kota ini.
      MOS yang sedang berlangsung di sekolahku saat itu, membuatku tersenyum riang. Karena, dari sekolahku terdahulu, hanya beberapa yang bersekolah sama denganku. Mereka pun tak ada satupun yang kukenal. Kak Mila sedang mengawasi jalan berlangsungnya MOS. Pengawas MOSku ada dua orang yaitu Kak Mila dan Kak Athara.
      Kak Mila berjalan diantara barisan kelas MOSku. Ia menatapku dari atas sampai bawah. Apa penampilanku saat itu aneh? Oh c’mon. I’m not a freaky!
      “Thar, ini nih” Ucap Kak Mila kepada Kak Athara sembari menunjukku. Aku juga tak mengerti kenapa gadis itu menunjukku. Kak Athara memperhatikanku sejenak lalu menoleh pada absen yang sedang ia bawa. I think, semua orang menilai seseorang pasti lewat penampilannya. Itu berlaku pada Kak Mila pula.
      “Viranada Kosika Yuki” Kak Athara memanggil namaku. Ia tersenyum manis. Gigi gingsul menambah daya tarik laki-laki itu. Sungguh. Ia adalah laki-laki pertama yang memanggil namaku secara lengkap yang dibarengi senyum yang agak menawan itu.
      “Ya. Saya, Kak?” Balasku. Ia kembali tersenyum. Akankah senyum itu tetap bertahan untukku?
      “Kamu perwakilan sekolah buat ngikutin upacara di Lapangan pusat kota ya?”
      “Saya, Kak?” Orang itu kembali tersenyum. Jaket biru OSIS menambah aksen keren padanya.
      Love at First Sight? Yap. Sekarang aku ngerasain hal itu pada Kak Athara. Dari dulu aku tidak percaya dengan kalimat itu. Karena menurutku, cinta itu hanya omong kosong. Perasaan ini membuatku merasa senang. Sekaligus sakit. Seru karena setiap ngeliat Kak Athara senyum, jiwa didalam tubuh ini ingin ikut tersenyum. Sakit karena akan mengetahui sebuah fakta kalau Kak Athara punya pacar. Atau yang paling parah, Kak Athara  nanti tak mengetahuiku sama sekali.
      “Iya. Kamu. Oke?”
      Deg!
      Ia terlalu bersikap manis. Aku tak ingin jatuh pada kesalahan yang sama seperti saat berpacaran dengan Wiska. Terlalu mencintai, akan membuat sakit. Sangat mencintai, akan membuat hancur. Cinta itu hanya sebuah label kemasan, bukan isi sebuah kemasan.
      “Baik, Kak”
      Hanya sebuah ikatan antara murid baru dan kakak MOS. Tak lebih dari itu. Ia juga mungkin akan melupakanku. Hanya waktu yang bisa mejawab seluruh pertanyaan yang masih berada dibenak ini. Hanya waktu pula yang bisa mengubah segala apa yang ada. Dan hanya waktu pulalah, yang akan selalu benar.
      Hidupku ini bagaikan didalam sebuah novel. Dimulai dengan teman palsu, perselingkuhan antara Wiska dengan Tari, dijauhi semua keluarga besar karena tingkah ayah dan bundaku yang selalu terlihat tak akur. Hidupku terlalu sempurna untuk dijadikan sebuah novel. Jika tadi aku mengatakan bahwa hidupku bagaikan didalam sebuah novel, maka kali ini aku mengatakan bahwa hidupku bukanlah sebuah novel. Novel Teen-romance,Teen-Fiction yang selalu berakhir dengan kata Happy Ending. Hidupku tak ada ujungnya. Kemarin aku bahagia, hari ini aku menangis, mungkin esok aku tersenyum, atau lusa tangisku akan terdengar sampai kota seberang.
      Atau yang paling tidak memungkinkan. Akankah aku akan bersama dengan orang yang kucintai dipandangan pertama? Seperti yang kutuliskan tadi. Hidupku bukanlah novel yang berakhir dengan Happy Ending. Yang akan setiap hari bisa melihat Kak Athara selalu tersenyum untukku.
      Semenjak MOS hari pertama itulah, aku selalu memperhatikan gerak-gerik Kak Athara. Saat itu, kami para murid MOS sedang mendengar penjelasan dari narasumber yang hadir ke sekolah ini. Aku ingin mengajukan pertanyaan, dan setiap yang ingin mengajukan pertanyaan, pastilah harus berbicara lewat Mike yang telah disediakan.
      Akupun berdiri untuk mengambil Mike itu, namun saat aku memperhatikan siapa yang memberikanku Mike, aku sempat terdiam sejenak dan mata kami saling bersitatap untuk beberapa detik. Warna bola mata Kak Athara adalah coklat. Sama sepertiku.
      “Bilang Nama, Kelas MOS” Aku mengangguk mengerti. Demi dihadapan Kak Athara, aku akan menunjukan segala kemampuanku.
      “Perkenalkan nama saya Viranada Kosika Yuki. Bisa dipanggil Nada. Saya berasal dari kelas X AP 1”
      Yap. Sudah kukatakan diawal. Aku mendapatkan SMK favorit ini berasal dari jerih payahku sendiri. Jika aku berniat bersekolah di SMA, ya bisa jadi sudah berada ditangan. Dan di SMK aku mendapatkan kelas MOS yang bisa dikatakan, memiliki NEM tertinggi di sekolah ini. Walaupun bukan aku yang mendudukin peringkat pertama tersebut, namun aku sangat bangga bisa menjadikan kelas ini menjadi kelas MOSku.
      Dan saat akhir-akhir MOS pun aku masih sempat-sempatnya untuk berusaha lebih dekat dengan Kak Athara. Acara pemberian surat cinta pada OSIS menjadi media pendekatanku. Ya walaupun aku tau tak akan selalu bertemu dengan Kak Athara, ya setidaknya aku sudah mengungkapkanku pada surat yang berisikan sebuah puisi buatanku sendiri yang menurutku artinya sudah sangat dalam.
      Siulan Sang Brahma
      Menyebabkan Agni Berkobar
      Siwa Mulai Menancapkan
      Tongkatnya di Permukaan
      Pikiran Wisnu
      Membuat Baruna Hadir
      Agni berkobar, itu berarti bahwa sesuatu yang baik telah dirusak oleh panasnya suasana. Siwa menancapkan tongkat, Sebuah perselisihan telah muncul. Dan menurutku, Kak Athara itu bagaikan Baruna. Yang memberikan kesejukan dikala hati yang tengah diamuk oleh kobaran Agni.
Semenjak perpisahan antara aku dan Wiska, dijauhi semua orang, orang tua selalu bertengkar, namun semenjak mengetahui seorang Athara Geko Wijaya, entah kenapa semua perasaan kalut ini menjadi hilang seketika. Setiap ku memandang wajahnya, serasa beribu-ribu kelopak bunga sakura terbang melewati raga ini.
      “Nad, cuman suratmu aja yang Kak Athara dapetin!” Seru Yuna dan Ana. Mereka berdua adalah temanku. Kita dulu satu sekolah, namun tak begitu akrab. Hingga sekolah ini membuat kami bertiga lebih dekat.
      “Cuman suratku saja?” Ucapku yang mengulangi pernyataan Yuna dan Ana tersebut.
      “Yoi! “
      Ada perasaan senang saat mengetahui hanya suratku saja yang Kak Athara bawa. Atau mungkin, saat sampai dirumah, surat itu hanya menjadi kertas usang tak berguna di tempat sampah. Aku makin  tak percaya diri. Aku hanya bisa menundukan kepala saat pikiran itu hadir melewati kepala ku.
                      Dan setelah MOS, adalah tes penempatan kelas. Aku selalu berusaha untuk tetap berada dikelas X AP 1. Menurutku, mungkin saja aku dan Kak Athara akan kembali bertemu. Mungkin. Hanya kata itu saja yang masih mengganjal dihati ini. Walaupun nanti aku tak akan mendapatkan kelas ini lagi, setidaknya aku akan tetap berusaha untuk selalu dapat melihat Kak Athara dari kejauhan. Pikirku saat itu
      Hanya dari kejauhan. Aku tak berani untuk mendekat. Karena ego milikku terlalu menguasai raga ini. Bahkan saat ia sendirian dan aku tetap tak berani untuk menanyakan berapa nomer ponsel Kak Athara. Egoku terlalu berlebihan hingga untuk mendekat pada orang yang kurindu dan mulai ku sayangi pun tak bisa.
      Jika ia mendekat.. tidak. Ia tidak mungkin mendekat. Karena, aku hanya seorang gadis kecil yang masih kelas 10, aneh, dan tak pernah bisa untuk mengendalikan ego yang berada dibatinnya. Dan, aku hanya bisa berdoa pada yang diatas. Dan semoga saja tuhan tak pernah bosan mendengar nama Kak Athara disetiap bait do’a yang kuucapkan, karena setiap akhir dari do’a ku, aku akan selalu mengatakan.
      “Tuhan, buatlah aku lebih dekat dengan Kak Athara. Buatlah aku lebih berani untuk mendekati Kak Athara. Biarkan kami untuk saling memandang. Kemampuanku hanya bisa sampai disini saja. Tolong bantu aku untuk bisa bersama dengan Kak Athara. Jangan biarkan dia hancur karena apapun. Dia adalah orang yang memiliki senyum yang tulus menurutku. Jangan biarkan senyum itu menghilang dari wajahnya”
      Hanya do’a itu yang selalu kuucapka diakhir setiap ku mencoba untuk bertemu denganNya.
      “Dasar tukang selingkuh!”
      “Oh, Papa nuduh Mama selingkuh? Nyadar dong, Pa!”
      Entah kenapa, setiap aku berada dirumah, tak pernah ada kehangatan sebuah keluarga didalamnya. Hanya ada sebuah teriakan, pecahan kaca, bentakan, suara pukulan, bahkan saling menjelekkan. Dan aku sempat berfikir untuk mengakhiri hidup ini saat Wiska dengan santainya mencampakkanku di hadapan umum. Keluarga hancur, pacar yang meninggalkanku demi selingkuhannya, begitu sempurna bukan hidup seorang Nada.
      “Ayah! Bunda! Berhenti! Nada bosen denger kalian bertengkar!” Ucapku. Kedua orang tuaku itu pun menoleh ke arahku dengan alis yang bertaut.
      “Liat! Dia tumbuh jadi anak pembangkang kayak kamu!”
      “Kok aku? Papa yang salah!”
      Terlalu sempurna untuk kulanjutkan kisah ini. Walaupun dihati ini masih ada luka yang mendalam, hanya melihat Kak Athara tersenyum, merupakan sebuah penyemangat dalam hidupku. Walaupun seringkali aku melihatnya tersenyum diantara banyak perempuan yang mengelilinginya, dan mungkin salah satu diantara perempuan itu adalah pacar Kak Athara, aku akan tetap menyimpan perasaan ini.
      Sakit? Of course. Siap menyentuh cinta, tentu siap pula dengan resiko sakit yang akan kuderita nanti. Aku masih menyukai memandang Kak Athara dari kejauhan. Jika dari dekat, aku tak tau harus berbuat apa. Bisa saja aku melakukan hal-hal yang memalukan dihadapannya. Rambut hitam legam, sorot mata yang begitu lembut namun tajam, senyum merekah, dan mungkin hanya dirinya satu-satunya yang ada didunia.
      Saat HUT sekolah, aku merasa jantung ini berdetak dengan kencangnya. Entah kenapa, aku juga tidak tau. Saat ku tolehkan kepalaku, sebuah pemandangan yang mengejutkan. Kak Athara berada tak jauh dari tempatku duduk. Seperti biasa, ku coba untuk mengambil beberapa kesempatan untuk melihatnya dari dekat. Aku merasa nyaman dengan keadaan ini. Walaupun aku dengannya tak sebelahan, jiwa di raga ini menjadi setenang Laut Hawai.
      Kak Athara. Ingin sekali aku meminta nomer ponselnya, namun sudah kuucapkan dari awal bahwa egoku terlalu tinggi. Aku hanya bisa berkhayal kalau Kak Athara akan menjadi pacarku. Hanya sebuah khayalan. Tak lebih dari itu. Mungkin memang kami tak akan bersama, dan kami akan bertingkah saling tak mengenal. Oh tidak, hanya aku saja yang mengetahui nama lengkapnya, ia mungkin tidak tau nama dan siapa aku ini.
      Aku selalu menatapnya dari kejauhan. Dan aku tak pernah bosan untuk melakukan hal itu. Mungkin kisah seorang Viranada Kosika Yuki akan berakhir dengan kesakitan akibat selalu melihat orang yang disayang, akan menjauh seiring dengan berjalannya waktu. Selalu begitu, dijauhi saat sudah mulai mendekat. Begitulah cinta. Begitu menarik, namun begitu rumit pula.
      “Kamu terlalu egois! Selalu ngekang! Kamu nggak pernah ngertiin aku!” Kalimat yang diucapkan Wiska selalu saja terngiang. Pertanyaan yang selalu membuatku bingung adalah, Apakah aku orang yang egois?
      Memiliki Ego yang tinggi. Itu memang aku. Jika ucapan Wiska benar tentang keegoisan yang kupunya sangat tinggi, maka menurutku itu tidak benar. Jika aku benar-benar orang yang egois, maka saat Wiska melepasku begitu saja, aku akan menolaknya. Namun, saat ia melepaskanku begitu saja, aku hanya menerimanya. Tak menolak. Semua orang heran, kenapa saat Wiska memaki ku didepan umum, aku sama sekali tak membalas ataupun membela diri. Aku berfikir, untuk apa terus mempertahankan seseorang yang sama sekali tak menginginkan keberadaanku disisinya. Aku hanya seorang manusia yang tak bisa melakukan keegoisan. Namun, banyak orang menyebutku sebagai orang teregois yang pernah ada.
      Karena aku tak memiliki sedikit keegoisan, aku hanya menerima pendapat itu. Tanpa melawan, hanya diam, diam, dan diam. Tanpa perlawanan yang begitu berarti bagi mereka. Aku ingin menjadi orang yang memiliki sebuah keegoisan yang bisa membuatku melawan semua yang menurutku sangat mengganggu.
      Aku ingin memiliki keegoisan, agar aku berada dijalur yang benar-benar kuinginkan. Namun, memiliki sebuah keegoisan yang sebenarnya adalah sebuah bunga tidur untukku. Semuanya begitu.. menyakitkan. Bahkan, keegoisan yang amat begitu rendah, hingga aku mengambil jalan agar tak bertatap muka dengan Kak Athara. Aku tak punya sebuah keegoisan untuk membuat Kak Athara melangkah bersamaku.
      Hanya dari jauh. Kak Athara berada jauh di Utara. Dan aku berada jauh di Selatan. Kami berdua bagaikan kutub magnet yang memiliki kutub yang sama. Jika didekatkan akan tolak menolak.
      Hingga hari ini, atau mungkin seterusnya aku akan menatap Kak Athara hanya dari kejauhan. Seterusnya akan begitu, hingga Kak Athara sendiri akan menyadari bahwa aku selalu menatapnya. Tapi, Kak Athara menyadari tatapanku, itu tak mungkin. Karena Kak Athara tidak akan pernah melihat bahkan melirik seorang gadis dengan wajah yang selalu terlihat datar dan jarang untuk memperlihatkan ekspresi yang sebenarnya.
      Dan saat ku ketikkan kalimat-kalimat ini, yang kulihat adalah seorang Kak Athara yang tengah mengenakan jaket biru, sedang saling berangkulan dengan kawannya, dan senyum itu selalu mampu melumpuhkan segala ingatan yang membuatku sadar betapa susahnya hidup didunia ini. Hanya senyum itu yang mampu membuatku ikut tersenyum layaknya orang gila. Dan saat ini pula, aku mengetik sambil terus berkhayal. Berkhayal, bahwa akulah yang berada di rangkulan Kak Athara.

Indigo



School of Hell
                Semua ucapan yang dilontarkan kakakku pada waktu itu, kini memang terjadi. Ia seolah pernah menasehatiku agar tak memasuki sekolah ini. Bahkan sebelumnya, ia tak ingin bersekolah di sekolah ini karena rumor yang beredar pada waktu itu.
            Dan itu bukan sembarang rumor. Itu adalah nyata. Kak Erik selalu berkata padaku bahwa sekolah ini berhantu, angker, dan banyak yang menghuni. Aku awalnya tak mempercayai omongan kakakku itu. Aku dengan beraninya setelah tamat SMP untuk bersekolah di sini. Awalnya memang seperti tak ada apapun yang perlu ditakutkan.
            Bahkan saat MOS, aku merasa nyaman untuk bersekolah di sini. Sekolah dengan gedung megah serta fasilitas penunjang yang begitu lengkap. Hingga aku benar-benar meremehkan Kak Erik yang merupakan seorang indigo sejak kecil.
            Aku benar-benar tak merasakan sesuatu yang aneh. Sungguh, aku bahkan selalu mengacuhkan setiap peringatan yang Kak Erik lontarkan. Hingga 2 minggu terakhir ini, aku mulai merasakan sebuah keanehan di sekolah ini. Keanehan yang bisa kurasakan dengan seluruh indra yang ada ditubuh ini.
            Ruang kelasku berada di bawah dan pojok dari gedung 1. Dan letak dari kelasku itu adalah depan dari kamar mandi wanita dan pria. Aku awalnya berfikir senang karena mendapatkan kelas yang dekat dengan kamar mandi. Namun, itu lah penyebab ketidak nyamananku saat ini.
            Dari aku bersekolah disini, aku selalu berusaha untuk datang pagi. Dan 2 minggu terakhir pula, aku merasakan keanehan. Ruang kelasku yang dulunya adalah sebuah laboratorium, yang masih menyimpan semua peralatan praktek IPA. Dan ada sebuah kerangka tubuh manusia yang berada di dalam sebuah lemari kaca, membuat ruangan ini saat jam 6 pagi serasa amat dingin diruang kelas yang sebenarnya terasa hangat.
            Setiap aku datang, aku selalu melirik kerangka itu. Dan aku merasa, kerangka itu seolah berbicara padaku. Dan itu bukan biang dari permasalahannya. 3 hari yang lalu, saat aku dan kawanku sedang mengerjakan tugas, salah seorang kawanku menunjuk sesuatu dari dalam kamar mandi pria.
            “Itu..” Ucap Jessi sembari menunjuk. Setelah aku, Lena, dan Ria menengok yang dimaksud oleh Jessi, kami bertiga mengernyitkan dahi bersama-sama.
            “Ada apa?” Ucap Ria dengan wajah yang mulai terlihat tegang. Lena pun kembali menengok kearah dalam kamar mandi. Dan tetap saja, tak ada sesuatu yang ada disana.
            “Tadi aku liat orang lewat!” Racaunya dengan berjalan ke depan kamar mandi dan menyembulkan kepalanya kea rah dalam kamar mandi.”Seriusan, tadi ada kok!” Imbuhnya yang penuh penekannan. Dan saat itu aku kembali teringat akan ucapan Kak Erik tentang seseorang yang pernah mati bunuh diri disalah satu kamar mandi pria disekolah ini karena patah hati. Dan bulu kudukku meremang karena mengingat ucapan Kak Erik.
            Telah beberapa kasus pula yang diucapkan oleh Kak Erik, kini kurasakan dengan perasaan was-was. Bukan di kamar mandi pria saja ada bunuh diri dengan cara menggantung diri, di Lab Komputer pun konon pernah terjadi bunuh diri juga. Dan saat pelajaran TIK yang menggunakan Lab Komputer, aku duduk di pojok kiri ruangan itu. Aku dan Dika yang duduk diposisi itu pun sering merasa sesuatu yang aneh.
            Seperti AC yang sebenarnya mati, namun kita berdua merasakan kedinginan yang teramat sangat. Padahal teman-teman yang lain tak merasakan kedinginan, mereka merasakan gerah akibat AC di ruang Lab computer itu tak menyala. Aku dan Dika pun sedikit bingung atas kondisi yang kami alami itu. Bukan hanya itu saja di ruang itu aku mendapati keganjilan, 6 hari yang lalu aku mendapatkan pelajaran yang sama, dan di ruangan yang sama.
            Saat itu, aku tengah memanggil Meggy yang terlihat sedang kesusahan menyalakan komputer di tempatnya. Aku berusaha ingin membantunya, namun sesuatu menghalangiku. Yang menghalangiku adalah aku merasakan bahwa tempatku ke tempat Meggy sangat jauh, bahkan saat itu aku merasa tak akan sampai bila aku berjalan kaki.
            Aku berteriak sekencang mungkin, tapi tak seorang pun mendengarku. Aku merasa seperti lumpuh, namun saat guru pengajar telah datang, aku kembali kesedia kala. Disana aku mulai bingung, apakah semua ucapan Kak Erik memang benar adanya?
Dan bukan sampai disana saja keanehan yang bisa aku rasakan. Tadi, saat pelajaran berlangsung, aku tengah berdiskusi dengan Andra. Saat berdiskusi dengannya, sesekali ku menatap kerangka manusia di dalam lemari kaca itu dan sesekali pula aku menatap kamar mandi, pria maupun wanita. Ada perasaan yang mengganjal.
            Saat kelasku hening, aku merasa seseorang telah memegang tengkukku. Aku menoleh pada Andra. Kami saling memberikan tatapan bingung. Andra tersenyum jahil. Ya saat itu aku merasa bahwa Andra lah pelakunya. Namun sebuah fakta yang mengejutkanku. Ternyata ia juga merasa kalau ada yang memegang tengkuknya.
            Dan anehnya, di belakang kami hanya ada kerangka manusia itu. Karena letak duduk kami berdua ada di paling belakang. Andra sepertinya tetap tak menghiraukannya. Aku terus berfikir, teka-teki apa yang tengah dipersiapkan oleh penunggu sekolahku ini? Aku masih penasaran dengan teka-teki yang mereka berikan.
            Dan saat aku mengetikkan kalimat-kalimat ini, aku selalu menoleh kearah belakang. Karena aku merasa sedang diperhatikan. Dan untuk seterusnya, aku tak akan mengabaikan larangan yang diberikan oleh siapapun. Dan hari ini, aku melihat siluet seseorang ditengah kamar mandi pria yang jarang didatangi itu.